''Ya, sudah ke kostan kami aja dulu. Ntar, kita antar. Bagaimana? Kalau balik ke kostan mu terlalu jauh,'' tutur Roma mengingatkan.
''Aku naik taksi aja lah pulang,'' tolak ku.
''Bahaya lho anak gadis keluyuran malam-malam,'' Wandi mengingatkan. Wandi menyarankan agar aku ikut ke kostannya, cari makanan lalu berjanji akan mengantarkan aku ke rumah Ranie. Akhirnya aku setuju dengan berbagai pertimbangan. Aku tak tahu daerah itu.
Sesampainya di kost-an Wandi yang dibangun dalam tiga tingkat. ''Besar juga ya. Berapa orang disini,'' tanya ku sambil menuju lokasi kamar mereka yang berada di lantai kedua.
''Ada sekitar lima puluh kamar, yang nempati lebih dari tujuh puluh,'' jawab Wandi.
''Koq bisa,'' tanya ku bingung.
''Ya, bisa donk neng. Kan satu kamar ada yang bedua ataupun bertiga,'' jawab Andi sambil tertawa.
Begitu sampai kamar, Wandi membuka pintu lebar-lebar. ''Sebentar ya, aku mandi dulu,'' kata Wandi sambil meninggalkan ku di kamarnya. Sementara, Andi dan Roma kembali ke kamarnya. Selang lima menit, Wandi pun datang. ''Kamu ngak mandi?,'' tanyanya.
''Ngak, nanti saja di tempat kawan ku. Bener ya, aku diantar kesana,'' tanya ku balik.
''Iya, kita cari makan dulu yuk. Disana ada jual ayam goreng atau ayam bakar enak,'' ajaknya. Andi sudah menungu di luar. ''Jadi, kita cari makan?,'' tanya Andi. ''Jadi,'' jawab Wandi singkat.
Saat menuruni tangga. Andi berujar, baju mu seksi ya, San. ''Seksi,'' tanya ku bingung. Karena aku hanya mengenakan celana jeans dan t'shirt warna kuning, tidak terlalu press body. Karena aku memilih ukuran M bukan S. Pada saat itu, Wandi tidak mendengar percakapan kami. Lantaran, dia sudah menuruni tangga dulu.
''Body kamu bagus,'' ujar Andi membuat risih Santi. ''Apaan seh,'' kata Santi ketus. Santi pun langsung mempercepat menuruni tangga menyusul Wandi. ''Disini, ada wartel nggak. Aku mau mencoba menghubungi Ranie. Batre ponsel ku lowbat neh,'' ujar ku pada Wandi.
''Tuh, didepan situ. Yuk, ku antar kesana,'' kata Wandi sambil menuju wartel terdekat.
Ternyata ponsel Ranie tidak akif. Plus, telepon rumah tak diangkat. Santi mulai merasa cemas. Ia pun langsung memutar nomor sahabatnya, Yovie. Namun, sayang Yovie tak bisa menjemput Santi dari lokasi yang asing. ''Please, jemput aku ya,'' rengek Santi.
''Sorry, bukannya aku ngak mau. Tetapi aku lagi ada acara keluarga. Kamu ini, napa bisa sampai kesana seh,'' tanyanya balik.
''Ya, sudah lah. Kalau mank ga bisa,'' ujar ku kesal sambil menutup telepon. Sudah ngak mau, marah-marah lagi. Bete deh.
''Bagaimana, bisa dihubungi,'' tanya Wandi, saat melihat ku keluar. Aku hanya menggelengkan kepala. Ku lihat sudah jam 9 malam, membuat ku makin tak berdaya akan hidup ku. ''Aduh, bagaimana neh. di kost ku juga sudah ngak ada orang,'' keluh ku pada diri ku sendiri.
Kami pun pergi membeli makanan di warung yang menurut Wandi enak. ''Mau pesan apa,'' tanya Wandi pada ku. ''Terserah,''
''Ayam bakar tiga ya dan es jerman tiga,'' pesan Wandi pada penjual nasi. ''Beres,'' jawab penjual nasi itu. Pesanan kami pun siap dalam hitungan tiga puluh menit. Berarti jam sudah menunjukan ke arah jarum jam yang makin malam.
Tiba-tiba ponsel Wandi berbunyi dan raut wajahnya langsung berubah panik. ''Ada apa?,'' tanya ku saat ia menutup ponselnya.
''Mama ku, tiba-tiba jantungnya kumat. Aku disuruh pulang sekarang ke Bandung,'' katanya panik.
''Yang bener aja, terus aku bagaimana?,'' tanya ku bingung.
''Andi, aku titip Santi ya. Jagain dia baik-baik, kalau ada apa-apa San, telepon aku ya. Aku tinggal dulu,''ujarnya sambil membayar pesanan makanan itu.
Perut ku memang lapar, tetapi selera makan ku sudah hilang. Rasa panik melanda ku tiba-tiba. Apalagi kalau mengingat perkataan Andi waktu ditangga itu, membuat ku makin resah.
''Yuk, pulang,'' ujar Andi membuyarkan lamunan kalut ku.
''Ya Tuhan, tolong aku. Doa ku dalam hati,'' ... ''Ya,'' kata ku sambil mengikuti pulangnya.
''Kenal dimana sama Wandi,'' tanya Andi meluberkan suasana kaku yang tiba-tiba datang.
''Ngak, ingat,'' jawab ku asal-asalan. ''Aku diantar ke tempat Ranie ya. Kamu kan sudah janji sama Wandi,'' tutur ku cepat.
''Sudah malam neh, mau jam berapa keliling mencari rumah kawan mu. Mending kamu tidur aja di kamar Wandi kan kosong,''
''Yang bener aja, masa aku tidur di kamar cowoq,'' tolak ku.
''Terus mau bagaimana,'' katanya lagi.
Begitu sampai ke kost-an mereka. Kami pun naik ke lantai dua. Andi menyuruh ku naik duluan, aku pun menolak. Tapi, dia tetap tak bergeming dari tempatnya. Terpaksa aku melangkahkan kaki ku duluan menuju lantai dua. Perasaan ku, matanya terus memandang tubuh ku, membuat ku risih.
''Aku masuk ke dalam kamar dulu ya,'' kata ku cepat-cepat. Tiba-tiba tangan ku ditarik, nanti ajalah. ''Nonton dulu yuk,'' katanya sambil memegang tangan ku.
''NGak lah sudah malam,'' tolak ku sambil berusaha melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan kanan ku.
Sia-sia. Terpaksa, aku pun masuk ke kamarnya. Saat kami tiba dikamarnya. Roma sudah tertidur lelap. Andi pun memulai pembicaraan dan ku jawab sesingkat-singkatnya. Sekitar sepuluh menit aku dan dia berbincangg-bincang tak karuan. Aku memutuskan balik ke kamar Wandi dengan alasan, tak enak menganggu Roma yang sudah tidur.
Selang beberapa lama, Andi pun datang ke kamar. Saat itu, pintu kamar Wandi belum ku tutup. Karena teman Wandi sedang mencari barangnya. ''Ke kamar ku yuk,'' ajak Andi. ''Filmnya bagus lho,'' katanya lagi.
''Ngak lah, aku disini aja,'' tolak ku. Tetapi itu orang tetap aja bersikeras mengajak ku ke kamarnya. ''Ayolah,'' katanya.
Aku tetap pada pendirian ku, tidak mau. Lalu ia berbisik ditelinga ku. Kalau aku tak mau, ia akan mengendong ku untuk membawa ku ke kamarnya. Terpaksa, dengan enggan aku mengikutinya. ''Kalau ngak digituin kamu ngak mau kan ikut aku,'' ujarnya sambil tertawa.
Kata Andi, ''aku terpaksa bilang begitu, ngak enak dengan teman Wandi. Dia lagi cari barang, kamu tungguin. Risihlah dia.
Aku hanya diam saja. Begitu aku masuk kamarnya. ''Mana Roma,'' tanya ku, saat melihat kasur Roma kosong.
''Lagi cari makan,'' ujar Andi sambil duduk. ''Duduk lah,'' ajaknya.
Aku memilih duduk berhadapan dengannya. Dibanding berada disebelahnya.
''Sudah punya pacarnya?,'' tanya Andi tiba-tiba.
''Memangnya, kenapa,'' tanya Santi balik.
''Sudah pernah ngapain aja,'' ujarnya tanpa menghiraukan pertanyaan Santi.
''Maksudnya apaan seh,'' tanya Santi dengan nada kesal.
''Pura-pura ngak tahu atau mank ga tahu,'' tuturnya sambil tersenyum memandang wajah Santi.
Hal tersebut membuat Santi sedikit muak. Memang dari awal pertemuan tersebut, Santi sudah tidak terlalu merespon tingkahlaku Andi yang tak sopan itu. '"Sudah lah, aku mau tidur. Sudah malam,'' ujar Santi sambil beranjak berdiri.
Spontan tangan Andi pun langsung meraih pergelangan tangan Santi dan membuatnya terjatuh. ''Apa-apaan seh,'' kata Santi melihat ulah Andi. Andi hanya diam saja.
''Lepasin ngak atau aku teriak,'' ancam Santi.
Ancaman itu tidak digubrisnya. Pergelangan tangan Santi dipegangnya lebih erat dan matanya terus menelusuri tubuh Santi.Gerakan mata tersebut membuat Santi makin direndung rasa ketakutan. Santi berusaha melepas cengraman lengannya dengan sekuat tenaga. Meskipun pergelangan tangannya sakit. Santi berusaha, akhirnya Andi melepaskan cengkramannya. Santi pun segera berdiri dan berlari menuju pintu keluar. Namun, Santi kalah cepat, Andi sudah lebih dulu berada di pintu, menutup dan mengkuncinya.
''Aku mau tidur,'' kata Santi agar Andi segera membukakan pintunya. ''ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan,'' pikirnya. ''Maafkan aku,''
''Masih jam berapa, nanti aja tidurnya. Sini aja dulu,'' ujarnya sambil melangkah mendekati Santi. Spontan Santi mundur ke belakang. ''Aku, sudah ngantuk, mana kuncinya?,'' pinta Santi sambil mengulurkan tangannya tetap menjaga jarak.
''Ini, ambil lah kalau mau,'' ucapnya tanpa melepas pandangan dari tubuh Santi.
''Taruh aja dikasur biar nanti aku ambil,'' ujar Santi.
Santi berharap agar Andi segera pergi jauh dari kunci yang diletakannya diata kasur. Namun, harapan Santi tinggal harapan. Santi pun mencoba meraih kunci kamar semaksimal mungkin agar bisa menjauh dari sosok Andi. Tetapi, usahanya sia-sia.
Begitu Santi mendekati kunci tersebut, tubuh Santi langsung ditariknya kedalam pelukannya. Reaksi yang tidak terduga itu membuat Santi terkejut dan berteriak tertahan antara ketakutan dan tanpa disadarinya suaranya pun langsung menghilang.
Kesempatan itu ternyata tak disia-siakan Andi. Andi pun mencoba memeluk Santi lebih erat, Santi menolak dengan mengerangkan sisa-sisa kekuatannya. Semakin Santi memberontak, pelukan yang didapatnya pun semakin kuat. setiap santi berusaha bergerak membuat Andi semakin bersemangat. Santi pun akhirnya kehabisan tenaga.
''Kamu mau ngapain seh, lepaskan nggak,'' ujar Santi dengan suara melemah. ''Aku kan tidak pernah membuat mu kesal,''
''Aku minta dikit aja, aku pengen merasakan bibir mu yang seksi,'' kata Andi dengan suara parau.
Dengan desahan nafasnya, ia mencoba mencumbu Santi yang masih berada dalam pelukannya. Santi pun menolak dan berusaha meronta. Andi yang sudah gelap mata itu pun langsung melemparkan tubuh Santi yang sudah lemah diatas kasur. Kesempatan itu pun langsung diraih Santi untuk bangun, tetapi kalah cepat. Tubuh santi pun ditindih. Santi sudah berusaha menyadarkan Andi untuk tidak membuatnya menderita.
''Ya, Tuhan tolong aku,'' doa Santi dalam hati. ''Lepaskan ngak, atau aku teriak,''
''Coba saja, kalau kamu berani,'' sehut Andi cepat dan dengan kecepatan yang sama mencoba mencium bibir santi. Santi mencoba mengelak dari bibir Andi yang membuat badannya merinding seketika. Bukannya menyerah, Andi malah mencoba mencumbu leher Santi.
Santi yang memang sudah tak bisa menggerakan badannya dan suaranya seperti terkunci mencoba melepaskan diri dari nafsu Andi yang sudah mengebu. Tangan Santi yang berhasil lepas dari tindihan Andi pun dicoba dengan sekuat tenaga untuk mendorong tubuh Andi dari atas tubuhnya. Lagi-lagi usaha Santi harus gagal.
Tangan Santi pun dipegang dan ditaruh disela-sela pahanya. Bibirnya pun terus menjelajahi lekuk leher Santi dan terasa basah. ''Tolong, jangan' rintih Santi, tetapi sia-sia saja. Andi sudah membabi buta mencoba menyatukan tubuh santi dengan tubuhnya agar Santi tidak bisa bergerak. Santi mencoba menutup bibirnya rapat-rapat agar bibir Andi yang kotor itu tidak bisa mencoba mencicipi bibir Santi.
Tak kalah akal, Andi pun terus menelurusuri leher Santi dengan bibirnya. Setelah itu, ia mencium telinga Santi dan membuat Santi semakin beronta dalam keadaan tubuh yang ditindih. Desahan nafas Andi membuat Santi muak, apalagi bekas bibir Andi menelusuri leher dan teliga Santi membuatnya menjadi basah dan terasa menjijikan.
Andi sudah tidak mempedulikan permohonan Santi itu pun mulai mengambil kesempatan pada tubuh yang sudah tidak berdaya itu. Andi semakin liar, tangannya pun mulai dimasukan ke dalam t'shirt kuning yang ia kenakan itu. Dengan sangat mudah, tangannya pun masuk ke dalam, Andi mencoba menelusuri perut Santi. Santi yang sudah tak berdaya hanya bisa menangis dan memohon.
''Ya, Tuhan, maafkan aku dan tolonglah aku,'' ujar Santi didalam hatinya. Wajah Santi yang sudah penuh dengan air mata dan mimik wajah ketakutan itu pun juga tidak menyadarkan Andi untuk berhenti. Tangan Andi dengan leluasa menelurusi lekuk tubuh Santi hingga bagian depan.
''Aku mohon jangan,'' pinta Santi pada Andi.
''Sebentar aja,'' ujar Andi tanpa melihat wajah Santi yang sudah pucat pasi itu. Tangannya pun terus bergerak dan menyentuh kulit Santi. Bahkan ia mencoba membuka celana jeans yang Santi kenakan. Santi pun mencoba mengumpulkan tenaga yang masih ada untuk meronta. Badannya pun terasa sakit. Tubuh Andi pun terasa makin berat menindih tubuhnya. Satu-satunya harapan adalah berteriak. Tetapi, suaranya tak kunjung bisa dikeluarkan. Entah kenapa, apa karena ketakutan atau karena panik. Sejujurnya, Santi pun bingung.
Entah kenapa juga, Andi pun tidak jadi melakukannya pada Santi dan Andi pun duduk sambil memandang tubuh Santi. Baju yang dikenakan Santi pun sudah berantakan, rambutnya kusut, matanya sembab dan masih ada sisa-sisa air mata.
''Terimakasih Tuhan,'' doa santi dalam hati.
''Rapikan tuh rambut ma baju mu,'' ujar Andi tanpa berkedip memandang Santi. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Santi dengan kecepatan penuh merapikan dirinya dan segera mengambil kunci dan keluar dari kamar itu secepat yang ia bisa.
Setelah keluar dari kamar itu, Santi pun segera masuk ke kamar kawannya dan mengunci kamar rapat-rapat. suara kedoran kamar dan memanggil namanya tidak digubrisnya. Santi ketakutan, sepanjang malam itu, Santi tak bisa tidur. Hingga akhirnya, santi baru bisa tertidur jam 3 dini hari dan terbangun jam lima. Santi pun keluar dari kamar itu pelan-pelan dan mencuci buka serta sikat gigi. Lalu, meninggalkan tempat itu menuju rumah kawannya yang sudah menunggunya dengan cemas.
***
''Apa salah ku,'' tanya Santi pada ku.
Aku yang tak tahu apa yang pernah menimpanya pun bertanya, ''Memangnya, kamu ada salah apa?,''
''Aku tak pernah mengoda pria, aku tak pernah pakai baju seksi yang mengundang pria untuk mendekati ku. Tetapi kenapa aku mau....,'' ujarnya terbata-bata.
''Mau apa?,'' tanya ku. Santi hanya diam saja. Aku mendesak Santi, ''bicaralah. Sapa tahu lebih ringan,'' ujar ku sambil menatapnya bingung.
''Diperkosa,'' bisiknya lirih.Suaranya memang pelan, tetapi seakan-akan guntur datang di siang bolong.
***
''Ann, jangan melamun, Kamu kan bawa mobil. Nah lampu hijau tuh,'' ujar Inne menyadarkan ku.
''Apa yang sedang kamu pikirkan,'' tanya Inne lagi.
''Perempuan,'' ujar ku sambil tetap berkonsentrasi pada jalanan didepan ku.
''Kenapa dengan perempuan,'' tanya Ranie penasaran.
''Lemah,'' jawab ku sekenanya. "Wanita selalu dijadikan simbol seks, wanita selalu dijadikan korban nafsu para pria. Memangnya, salah apa ya wanita itu pada mereka,''
''Kamu ini ada-ada aja,'' ujar Ranie. Ranie menambahkan, itulah kenyataan yang terkadang aku sendiri tak bisa menerimanya. ''Wanita hanya dijadikan pelengkap penderitaan dan selalu menjadi korban. Tetapi, banyak juga kan wanita yang kuat dan bertahan.
''Bertahan pada pernikahan yang sia-sia. Takut aib keluarga terbongkar, malu pada lingkungan. Itu semua selalu jadi bahan pembicaraan wanita. seakan-akan wanita itu tidak boleh memilih jalannya sendiri. Itu kan bukan salah wanita saja,'' urai Anne kesal bila membayangkan kawannya bakal menjadi korban pemerkosaan.
''kita sebagai wanita ya harus bersatu padu untuk mengatasi persoalan tersebut. Tanpa bersantu bakal percuma saja,'' timpal Inne.
Inne melanjutkan, terkadang wanita selalu dipersalahkan. Alasannya, wanita yang selalu mengoda pria.
''Padahalkan belum tentu benar,'' ujar Anne.
Ya, wanita memang selalu dipersalahkan dalam segala hal.... Padahal, belum tentu, wanita itu yang salah. Benerkan?
--cerita ini hanya fiktif saja ya--
@By Citra Pandiangan
Pada
4:53 PM
Jadilah orang pertama yang berkomentar!
You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health