''Mama Anne,'' ujar Aldo memanggil Anne, sambil menendang bola.
''Yup,'' jawab Anne sambil menangkap bola yang dilempar kearahnya. ''Ada apa, Do?''
''Bosan neh, dua hari di rumah saja. Besok kita kemana tante,'' tanya Aldo sambil diiyakan Peter.
Anne berpikir sejak, lalu tersenyum. ''Bagaimana kalau ke Mall,'' sarannya.
Aldo dan Peter saling berpandangan dan menggeleng. ''Bosan,'' serunya serentak.
''Kalau sama mama Anne tidak bosan, dijamin,'' kataku sambil melempar bola kepada Aldo.
''Masa seh, tante,'' ujar Peter sambil mendatangiku.
''Ada apa Peter, dah kangen mau pulang ke rumah ya,'' gurauku.
Peter semakin mengeratkan pelukannya, Aldo pun datang mengampiri kami dan ikut memelukku. ''What's up men,'' kataku sambil tertawa lucu melihat tingkah laku keponakanku.
''Lapar,'' kata Peter sambil tertawa.
''Yuk, kita buat cemilan. Jam makan malam masih dua jam lagi. Jadi tanggung kalau makan nasi,'' sahutku sambil melirik arloji berwarna emas di pergelangan tangan kananku.
''Ayo,'' seru Aldo sambil berlari ke dalam rumah, diikuti Peter dan tentunya juga aku.
''Mau buat apa?'' tanya Aldo penasaran, saat berada di dapur. Mata Peter pun melihat dapur yang tertata rapi.
Anne tertawa melihat tingkah laku keponakannya, biasanya di rumah selalu sepi. Karena Anne tinggal seorang diri. Kehadiran dua keponakan yang tak pernah diduganya membawa suasana baru. ''Sebenarnya tante sudah punya cemilan, ice cream dan puding. Bagaimana kalau kita membuatnya menjadi lebih menarik. Lalu, kita saling tukar karya masing-masing,'' ujarku mengusulkan.
Tanpa menunggu jawaban dari mereka, mereka pun langsung segera menuju lemari es dan mengeluarkan beberapa makanan yang ada di sana. ''Mama Anne keluar dulu sana, nanti kami berikan ice cream yang terenak,'' ujar Aldo mengusirku keluar dari dapur.
''Wow,'' seruku sambil keluar dari dapur. ''Jangan buat berantakan dapur mama Ann ya,''
''Beres,'' kata mereka serempak.
Selang dua puluh menit mereka bereksperimen di dapur dan keluar membawa tiga gelas berisi ice cream dengan berbagai hiasan dan campuran yang lain. Bentunya lucu, kalau soal rasa sudah pasti sama. Saat itu, kami duduk sambil memandangi teras rumah yang sudah mulai gelap.
Pada saat aku hendak menyuapkan sesendok kecil ice cream, ada anak kecil berdiri di depan pagar, memandang kami, tepatnya ice cream yang ada ditanganku. Berkali-kali, dia menelan ludah. Ku suruh kedua keponakanku melihat mereka. ''Menurut kalian, apa yang sebaiknya kita lakukan pada anak itu,'' tanyaku sambil menyuruh mereka melihat anak itu.
''Biarin aja,'' kata Peter, Aldo pun menyetujuinya.
''Kenapa? Alasannya,''
''Kitakan nggak kenal dia mama,'' ujar Aldo mengingatkan.
''Terus?'' desakku.
''Ya, tidak boleh. Siapa tahu dia berniat jahat,'' kata Peter dengan nada dibuat serius.
''Mau mendengar cerita tak,'' tanya ku sambil memandang satu per satu keponakanku.
''Ya,'' seru mereka berdua cepat
***
Ada seorang anak, sebut saja namanya Markus. Dia anak seorang petani, saat itu kondisi di daerahnya sedang kemarau. Tidak ada yang bisa diberbuat para petani itu untuk menyelamatkan hasil panennya. Markus pun jadi bersedih, karena melihat ayahnya pulang dengan raut wajah lelah dan putus asa.
Karena Markus anak yang baik dan usianya juga sudah sepuluh tahun, ia berusaha membantu ayahnya. Namun ayahnya melarang. Karena kata ayahnya percuma. Hasil kebun tak bisa diselamatkan, mata air sudah sedikit. Jadi, tidak mungkin untuk mengaliri tanaman. Air itu hanya cukup untuk persedian di rumah, buat minum dan keperluan lain.
Untunglah ayah Markus merupakan petani yang rajin menabung, sehingga tidak terlalu merasa kuatir untuk membiayai keperluan di rumah. Namun, kalau kemarau terus menerus melanda desa mereka, bisa dipastikan uang tabungannya bisa habis dan keluarganya bisa menderita.
Keesokan harinya, Markus berjalan menelusuri jalan setapak. Berniat menangkap ikan, memang sungai dengan tempat tinggalnya cukup jauh. Markus berjalan sepuluh kilometer, rasa lelah dan haus menderanya. Ia pun segera meminum air yang tadi dibawanya, beserta ember hitam yang rencananya mau digunakan untuk tempat ikan dan air.
Air sungai masih mengalir, namun tidak sebanyak dulu. Dibukanya bajunya dan bersusah payah, akhirnya Markus berhasil menangkap ikan, tiga ekor ikan dengan ukuran dua kecil dan satu besar. Saat berjalan pulang, Markus berpapasan dengan seorang kakek. Kakek itu sedang murung, karena cucunya marah-marah minta dimasakin ikan. Padahal, saat itu kakek sedang tidak punya uang.
Markus merasa kasihan, lalu diberinya satu ekor yang paling besar. Sedangkan Markus hanya membawa dua ekor ikan yang masih kecil. Markus berniat memberikan yang terbaik yang dia punya. Padahal, Markus pun lebih membutuhkan ikan itu untuk dijadikan lauk di rumah agar mengurangi biaya untuk membeli lauk di rumah.
***
''Tahu nggak maksud poin yang mama An ceritakan,'' tanyaku.
Aldo dan Peter hanya saling berpandangan. Aldo langsung menyahut, ''Kenapa harus begitu Ma,''
''Karena, kalau kita memberikan sesuatu kepada orang harus yang terbaik. Bukan berdasarkan apa yang tidak kita butuhkan. Di alkitabkan juga ada,'' kataku mengingatkan.
''Jadi .... Kita harus beri ice cream kita, sepertinya dia sangat menginginkan,'' kata Peter lirih.
Aku hanya mengangkat bahu, ''Menurut mu sayang''
''Harus,'' kata Peter ragu-ragu.
''Jadi?'' kataku sambil memandang Peter dan Aldo bergantian.
''Kami berikan ice cream ini ya tante, nanti aku dan Peter bagi berdua,'' ujar Aldo sambil berlari membawa cangkir ice creamnya.
''Ini,'' kata Aldo menyerahkan gelas ice creamnya.
Anak itu memandang ragu, lalu memandang ke arahku was-was. Belum sempat aku menyehut, Peter berujar ''Tidak apa-apa, ambil saja. Ice cream kami, kami iklas koq. Nanti ice cream kami yang satu lagi, kami bagi berdua,''
''Makasih,'' sahut anak itu sambil mengambil ice cream dan berlari secepat mungkin.
Aldo dan Peter saling berpandangan tak mengerti. Lalu, kembali mengampiriku bangku teras. ''Bagaimana,'' tanyaku.
''Sudah kami serahkan, tapi aneh,'' kata Aldo. ''Iya ma, aneh,'' ujar Peter membenarkan.
''Aneh, kenapa,'' sahutku.
''Dia malah berlari dan pergi membawa gelas tante,'' kata Peter dengan nada takut.
''Ya sudah tidak apa-apa. Neh ice cream tante, kalian aja yang makan,'' ujarku sambil menyerahkan ice cream.
Aldo dan Peter mengelengkan kepala. ''Nggak, kami mau makan ice cream dengan berbagi,''
''Kenapa?''
''Karena seru,'' teriaknya.
Sore itu kami habiskan waktu bercanda dan tertawa. Tidak lama kemudian anak itu datang dengan mengandeng adiknya dan satu tangannya membawa cangkir bekas ice cream yang tadi diserahkan Aldo dan Peter.
Anak itu berdiri di depan pagar dan menatap kami, Aldo langsung mengampiri.
''Makasih,'' lanjut anak itu, ''Tadi aku harus cepat-cepat pergi menemui adikku. Karena dia ingin makan ice cream. Aku takut ice creamnya akan segera mencair. Ice creamnya enak.''
Aldo tersenyum sambil mengambil cangkir yang disodorkannya. Sementara itu, Peter saat melihat anak itu datang bersama adiknya masuk ke dalam dan membuat dua cangkir ice cream di cangkir plastik.
''Ma, cangkir plastik ini boleh mereka bawa pulang nggak,'' tanya Peter.
''Tentu saja boleh, mama kan punya banyak gelas di dapur,'' kataku dengan nada senang.
Peter menyerahkan ice cream itu kepada anak itu. Lalu, kami masuk ke dalam.
Pada
7:03 PM
Thanks You
BalasHapus