BANDUNG (TP)- Suryatati A Manan kembali meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Bual Kedai Kopi yang ditulisnya bersama Martha Sinaga. Buku ini merupakan buku kelima, setelah buku Surat untu Suami yang dilucurkan pada tahun 2009 lalu. Menurut Walikota Tanjungpinang, Suryatati A Manan, yang juga penulis Sabtu (15/5), buku ini merupakan buku kelima dan juga buku kedua berduet dengan Martha Sinaga.
''Saya membuatnya sudah lama. Hatiku berdebar-debar menunggu komentator dari tiga orang yang ahli sastra. Kita lihat bagaimana nantinya,'' ungkapnya.
Buku kelima ini merupakan buku pantun dan syair yang telah lama dibuatnya dan baru bisa dilucurkan sekarang. ''Buku ini saya harapkan bisa memberikan motivasi dan inspirasi. Karena kita memiliki aset yang luar biasa dalam dunia sastra. Syair dan pantun sudah lama ada dan tidak hanya di Tanjungpinang saja tetapi juga di Sumbar dan Jawa dengan nama yang berbeda,'' tuturnya.
Ia berharap dengan adanya buku syair dan pantun ini bisa merambah dan memberikan motivasi dan inspirasi bagi yang lain untuk bisa melakukan hal yang serupa.
Sebelum buku Bual Kedai Kopi dibedah oleh
Sides Sudyarto, Matdon dan Ahmadun Yosi Herfanda di hotel Mitra Bandung, beberapa penyair Tanjungpinang membacakan beberapa pantun dan syair yang tertulis di buku Bual Kedai Kopi yang halamannya berjumlah 117.
Tatik, sapaan Suryatati A Manan menambahkan buku ini ada beberapa foto yang menggambarkan kota Tanjungpinang. ''Jika tidak percaya melihat keindahan Tanjungpinang dari foto ini, bisa datang langsung dan melihat sendiri kota Tanjungpinang,'' ungkapnya.
Sementara itu, Sides Sudyarto sebelum membedah buku Suryatati A Manan dan Martha Sinaga menuturkan bahasa Melayu sudah cukup panjang usianya. Karena sudah dikenap pada awal abad ke 20 di Pulau Sumatera dan Pulau Bangka.
''Dalam kandungan bahasa Melayu itu kemudian hidup segala macam bentuk sastra seperti syair, pantun, talibun, gurindam dan sebagainya. Ilmu pengetahuan, kesenian, juga agama hidup dan menyebar melalui bentuk syair dan sebagainya,'' urainya.
Pria kelahiran Desa Banjaranyar itu mencontohkan tokoh tasauf dan agamawan Hamzah Fanzuri, menuliskan larya-karya yang terkenal dalam bentu syair. Begitu juga dengan tokoh budayawan dan sufi melayau Raja Ali Haji yang juga mengabadikan karyanya yang mashur, gurindam dua belas dalam bentuk syair.
Menurut Sides yang sudah melalang buana dalam dunia sastra, bual kedai kopi bukanlah sebuah bualan, melainkan sebuah kesaksian dua pribadi mengenai realitas sosial yang memancing kritik kedua penulis.
''Kesaksian dan kritik sosial dikemas dalam dua bentuk syair dan pantun. Dengan begitu antologi karya berdua memiliki fungsi ganda yakni melestarikan bentuk pantun dan syair sebagai genre sastra kita. Mereka juga menyampaikan sumbanhgsih dalam bentuk keprihatinan menyangkut lingkungan manusia dan lingkungan hidup kita yang sedang meradang akibat ulah sesama manusia,'' tukasnya.
Sementara itu, Matdon menuturkan judul kumpulan syair dan pantun bual kedai kopi ini langsung mengingatkannya pada estetika lokal. ''Bahasa Melayu yang ada di Kepulauan Riau memang terdengar unik dan klasik, namun memiliki daya tarik yang asyik. Lokalitas kata bual yang menggambarkan realitas tradisi masyarakat disana, budaya ngobrol, sekedar berbincang-bincang santai atau membicarakan apa saja,'' ungkap Matdon.
Ia menambahkan kata bual pada awal judul buku ini nampak pragmatik, tetapi konsep kata ini malah membuat sastra di Kepulauan Riau memiliki pijakan, sebab karya sastra yang menyadari estetika lokal akan memperkaya bahasa Indonesia.
Pantun hingga saat ini masih dipakai kalangan muda, meskipun penggunaannya hanya sekedar untuk main-main maupun hiburan dan bahasa pantun pun disesuaikan dengan masa sekarang. ''Pantun menunjukan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain-main dengan kata dan fungsi pantun yang sakral agak berubah menjadi profan,'' terangnya.
Untuk syair berbeda dengan pantun. Matdon yang juga penyair menuturkan, syair adalah puisi lama yang sudah jarang dipakai pada masa kini.
''Bedanya pantun masih banyak digunakan dalam bahasa gaul, syair boleh dikatakan tidak. Para penyair lebih memilih syair kontemporer, modern, mbeling, haiku, ketimbang harus membuat syari yang dinilai terlalu mengikuti aturan dan tidak bebas bahkan dianggap membelenggu kebebasan berbahasa,'' jelasnya.
Dari sesi tanya jawab, beberapa penulis dan penyair yang hadir nampak antusias bertanya maupun memberikan masukan dan kritikan kepada hasil karya duet antara Suryatati A Manan dan Martha Sinaga.
Salah satunya, Naning Pranomo seorang novelist menuturkan, hasil karya puisi dan pantun ini merupakan hasil karya yang bagus dan juga harus memperhatikan beberapa aspek dalam hal menulis puisi.
Hal senada juga diungkapkan salah satu tamu yang menuturkan dalam menulis pantun maupun syair juga harus memperhatian etika, jangan sampai menyebut nama apalagi untuk hal yang negatif.
''Untuk judulnya tidak mewakili semua isi dalam buku bual kedai kopi, karena hanya satu penulis saja, Martha Sinaga yang menuliskan mengenai kedai kopi,'' ungkapnya.
Menjawab itu, Suryatati A Manan menuturkan pihaknya sudah menuliskan gambaran mengenai bual kedai kopi pada kata pengantar. ''Kedai kopi yang saya maksud bukan hanya sekedar pembahasan di kedai kopi. Melainkan topik yang dibahas,'' tutur Tatik.
Ia menuturkan, masukan dan kritikan yang diterimanya pada saat bedah buku merupakan suatu pelajaran dan akan lebih teliti lagi dalam menulis.
Namun Tatik menegaskan buku kelimanya ini tetap akan beredar di pasaran untuk menambah warna dunia sastra dalam bidang syair dan pantun.
Pada
7:44 AM
terimakasih, salam kenal
BalasHapusMatdon
bikin yang lebih universal..yang orang pengen cari dan bacanya...
BalasHapus