The Single Club
Belakangan ini cuaca di kota Batam sangat panas, sepanas hati Riana. Bagaimana tidak, dia baru mendapat kabar bahwa kedua sahabatnya akan segera menikah di bulan November. Sedangkan Riana sendiri belum memiliki pacar. Setiap mendengar kabar pernikahan, dunia Riana seperti tersambar petir. Riana bukannya cemburu atau merasa rendah diri. Meskipun dia sudah memasuki usia 31 tahun pada bulan Agustus. Bukan berarti Riana menargetkan dirinya untuk menikah cepat. Dia tidak terlalu peduli dengan pernikahan, namun dia paling tidak suka dengan gunjingan dari orangtuanya. Tekanan dari keluarganya pun semakin gencar, membuat Riana ingin segera menghilang dari muka bumi ini. Tapi sayangnya, hidup tidak seindah dongeng. Dia tidak memiliki tongkat yang membuatnya bisa menghilang. Jadi Riana menerima nasib menjadi single forever. Namun berbeda dengan orangtua yang mendesaknya untuk segera menikah. Pertengkaran hebat terjadi tadi pagi dan membuatnya tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Sedangkan pekerjaannya sedang menumpuk di kantor.
Kuping Riana masih terasa panas mengingat perkataan orangtuanya. "Sampai kapan kamu single begini? Semua orang sibuk berlomba-lomba mencari suami!” Sedangkan kamu hanya bersantai saja," sindir mama, saat kami sedang sarapan.
"Terus mau mama bagaimana? Memangnya cari suami itu gampang?" Jawab Riana.
Mama hanya menggelengkan kepala, "Mama kan sudah berusaha mencarikan kamu jodoh, tapi semuanya kamu tolak semua," ujar mama sedikit emosi, "Memangnya kamu mau cari pria yang seperti apa! Jangan bagaikan pungguk merindukan bulan."
"Bukan begitu mama," jawab Riana kesal, “Semua itu ada waktunya.”
"Kamu ini,” ujar Mama geram. “Memangnya kamu mau mencari yang kaya. Lihat-lihat dulu kondisi keluarga kamu. Kamu ini...."
"Aku berangkat kerja dulu," potong Riana cepat dan ia segera beranjak dari tempat duduknya. "Kamu ini,” nada suara mama sudah mulai meninggi, “Setiap kali membicarakan pernikahan selalu saja seperti itu."
"Bukan begitu,” elak Riana, “Aku nanti bisa terlambat kantor dan kena warning."
"Riana.... Riana….. Riana," teriak suara yang menyadarkannya dari lamunannya.
"Ya pak," kata Riana sedikit kikuk, saat menyadari bos memanggilnya.
"Kenapa kerjaanmu belakangan ini banyak yang tidak beres," keluh bosnya, "Cepat perbaikin berkas ini dan antar ke meja saya."
"Baik pak, secepatnya,” ucap Riana sambil membuka file di computer. “Kalau begini terus bisa tidak diperpanjang kontrak kerjaku," keluh Riana dalam hati.
Belakangan ini pekerjaan Riana banyak yang gagal dibanding berhasilnya. Pernikahan dua sahabatnya bukanlah menjadi batu sandungan. Tapi sindiran-sindiran dari orangtuanya yang membuatnya semakin terpuruk. Orangtuanya, khususnya dari mama yang membuatnya tak tahan. "Memangnya salah, jika tidak menikah? Memangnya apa tujuan untuk menikah? Memangnya mudah untuk menemukan pria yang ideal. Bagaimana jika belum menemukan yang cocok. Memangnya aku harus menikah dengan sembarang pria yang penting memiliki status menikah?" Keluh Riana dalam hati.
Waktu terasa cepat berlalu dan semakin membuat Riana gelisah. Bulan Oktober dalam hitungan hari akan segera digantikan bulan November. Sejujurnya Riana merasa sedih dan hampa, karena beban perkataan yang selalu dilontarkan orangtuanya. Belum lagi di lingkungan pekerjaan dan sosialnya. Namun Riana berusaha sabar dan menutup telinga. Karena setiap kali orangtuanya membicarakan topik pernikahan dengan Riana selalu berakhir dengan peperangan. Sejujurnya hati Riana sakit dan hancur, tapi orangtuanya tidak memahami dirinya seutuhnya. Orangtua Riana hanya menuntut dan menuntut untuk ia segera menikah. Bukannya Riana tidak mencoba untuk membuka hati pada pria. Tetapi masa lalunya selalu membuatnya merasa kecewa. Setiap pria yang mendekati dirinya, semuanya memandang rendah dirinya. Mereka menganggap Riana mudah untuk dijamah, apalagi di era moderen seperti ini. Sedikit pria yang bertindak jantan dan menghargai perempuan sebagaimana mestinya. Bagaimana tidak, Riana memiliki tubuh yang menggiurkan bagi para pria. Meskipun Riana tidak menggunakan pakaian seksi. Namun, bagian tubuhnya lah yang selalu menarik para pria. Riana tidak berdaya untuk urusan satu ini, karena memang takdirnya memiliki bentuk payudara yang besar dan seksi tanpa perlu menggunakan oat-obatan. Banyak pria yang menggodanya, membuatnya kesal karena merasa tidak dihargai. Ia menginginkan pria menghargainya apa adanya. Bukan dari penampilan tapi dari hatinya. Namun pria seperti itu sudah sangat langka untuk didapatkan.
Kedua sahabatnya akhirnya menikah. Sangat disayangkan ia tidak bisa hadir di pesta pernikahan. Karena izin cutinya tidak diberikan. Kantor sedang mengalami kemajuan pesat, sehingga pegawai yang mengajukan cuti tidak diizinkan hingga awal Desember. Padahal Riana sangat ingin hadir di pesta sahabatnya. "Maaf aku tidak bisa datang ke pernikahanmu, Ella," kata Riana saat mendengar sambungan teleponnya dijawab.
"Kenapa Riana? Padahal aku mengharapkan kamu hadir."
"Bosku tidak mengizinkan aku cuti. Kerjaan di kantor sangat banyak. Tapi aku selalu berharap, kamu slalu berbahagia say, tetap semangat ya dan sukses."
Dua minggu sejak pernikahan kedua sahabatnya, Riana merasa seperti berada di neraka setiap berada di rumah. Kecaman hampir setiap saat, tidak pagi, siang, sore maupun malam selalu dilontarkan. Perang mulut tak pernah bisa dihindari lagi. "Sampai kapan kamu mau begini terus. Kawanmu semua sudah memiliki anak dan sudah pada menikah. Mama malu, anak mama tidak laku-laku!!"
"Malu sama siapa ma? Sekarang ini zaman moderen, perempuan yang tidak menikah tidak dianggap tabu. Memangnya aku barang apa? Pakai acara tidak laku segala!"
Mata mama semakin melotot karena kesal mendengar perkataan Riana. "Mama saja seusia kamu sudah memiliki anak. Jangan terlalu memilih nanti malah nggak dapat."
Riana hanya diam saja, Riana sudah bosan berdebat dan selalu berakhir dengan kemarahan mama yang bagaikan gemuruh. Sedangkan Riana selalu bersembunyi di kamar dan menangis seorang diri. Bosan aku sejujurnya mendengarkan perkataan yang selalu memojokanku. Tak ada kah seorang pun di dunia ini yang memahamiku sepenuhnya. Memangnya menjadi single adalah kutukan? Perawan tua? Tidak laku? Kenapa untuk yang satu ini, dilingkungan keluarga dan tempat tinggalku dianggap hal yang tabu. Bosan aku menangis meminta jodoh dari Tuhan setiap malam. Tak seorang pun mengetahui jeritan batinku! Itu hanya antara aku dan Tuhan. Tapi kenapa wanita single masih dipandang rendah? Katanya ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya? Tapi kenapa masih memikirkan perjodohan dan pernikahan. Adilkah hidup ini? Adakah seseorang di luar sana yang mengalami nasib tertekan seperti aku. Riana sedang menulis di blog dan ia pun menulis mengenai tekanan menjadi single, sementara teman-temannya delapan puluh persen sudah menikah. Bagaimana perasaan menjadi single, tekanan yang dihadapi di rumah lebih besar dibanding di luar.
Diluar bayangan Riana, ternyata di luar sana banyak yang mengalami nasib yang sama seperti Riana. Mereka semua tertekan oleh lingkungan, khususnya lingkungan di rumah sendiri yang malah memojokan dan menghina mereka. Rumah yang seharusnya sebagai tempat yang nyaman dan mendukukung malah menjadi tempat bagai neraka.
Riana membuat janji dengan beberapa teman yang meninggalkan pesan di inbox-nya dan mereka membuat janji pertemuan akhir pekan ini. Jantung Riana berdetak kian cepat, karena ia akan bertemu dengan beberapa orang yang bernasib sama dengannya. Riana merasa bermimpi dan tidak percaya bahwa ternyata di kota yang sama, tempat dimana ia merasa tertekan batin, ada beberapa orang yang memiliki nasib yang sama dengannya.
Jantungnya kian berdebar saat ia memasuki café yang berada di dalam mall. Café yang biasa Riana kunjungi bersama sahabat-sahabatnya. Tetapi kali ini berbeda, Riana akan bertemu dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal tetapi memiliki nasib yang sama. Riana memperhatikan dengan seksama setiap melihat wanita yang masuk ke dalam café seorang diri, mencari beberapa gambaran tiga wanita yang akan ia temui.
Riana sangat terkejut saat melihat seorang wanita muda, cantik yang menghampiri meja tempat ia telah memesan minuman. “Riana,” sapa wanita muda itu, “Aku Nania.”
“Hi, silahkan duduk. Kita tunggu yang lainnya ya,” balas Riana sambil mempersilahkan Nania duduk. Tidak lama kemudian, Lulu dan Puspita datang kepertemuan mereka.
Semua menceritakan kisah yang hampir sama dengan Riana. Nania adalah wanita muda yang baru berusia 25 tahun tetapi orangtuanya memaksanya menikah secepatnya, tapi sayang Nania belum menemukan pria yang pas. Sehingga ia harus menerima nasib dilangkahi adik perempuannya yang baru berusia 22 tahun. Sedangkan kisah Puspita berbeda, ia sudah berumur diatas Riana, usianya akan memasuki usia 36 tahun. Ia memiliki usaha butik. Ia sudah pernah bertunangan tetapi pria yang ia cintai menghamili wanita lain.
Sementara Lulu berusia sama dengan Riana tetapi kepedihannya lebih tragis dibanding Riana. Lulu tiga bersaudara dan ia anak pertama dan memiliki dua saudara laki-laki, adik pertamanya sudah menikah. Lulu tidak hanya merasa tertekan oleh orangtuanya yang selalu menekannya untuk menikah tetapi adik bungsunya juga. Adik bungsunya tidak memandang dirinya. Karena ia belum menikah. Beban hidup Lulu terasa berat.
Berbagi bersama dengan teman yang memiliki nasib yang sama ternyata sangat melegakan Riana dan teman-teman barunya. Mereka bisa sedikit merasa lega dan terhibur serta saling menguatkan satu sama lain. Seiring dengannya waktu, mereka sering melakukan pertemuan dan berbagai bersama persoalan yang mereka hadapi terkaitnya status mereka, wanita single. Akhirnya mereka memutuskan untuk membentuk club, “The Singles Club” yang untuk sementara waktu anggotanya hanya mereka berempat. Seiring waktu keanggotaan mereka akan bertambah.
“Wah, aku benar-benar merasa lega bisa bergabung bersama kalian dan mencurahkan unek-unek yang selama ini aku pendam seorang diri. Berbicara dengan teman yang sudah menikah, mereka malah menyalahkan aku karena tidak menikah,” keluh Lulu, pada pertemuan keempat.
“Masih mending,” sahut Puspita, “Aku waktu ikut arisan dengan teman-temanku. Mereka merasa dunia mereka sudah sempurna mungkin. Secara tidak langsung mereka menganggap orang yang belum menikah adalah orang yang malang.” Riana tersenyum mendengarnya. Karena Riana juga mengalami nasib yang sama, sejak kedua sahabatnya menikah. Mereka memandang sinis Riana dan orangtuanya pun semakin gencar menuntutnya. Bahkan beberapa kali sahabatnya tanpa disengaja mereka menyakiti perasaannya. Kata-kata, “Untuk apa memiliki banyak uang jika jauh dari suami.” “Kebahagiaan sejati pada saat kamu sudah menikah, seperti aku. Jangan tunda-tunda. Entar menyesal tidak cepat menikah.”
Setiap kali temannya berbicara seperti itu Riana hanya tersenyum saja dan menyakinkan bahwa status single bukanlah akhir dari dunia. Karena belum tentu pernikahan akan membawa kebahagiaan sejati. Meskipun pada kenyataannya ada beberapa kasus pernikahan yang gagal. “Ella, ada teman aku yang menyesal menikah terlalu cepat dan memiliki anak. Meninggalkan karir dan ternyata karir suaminya juga tersendat,” kata Riana, “Tidak semua pernikahan itu mulus, begitu juga tidak mudah menjadi single tetapi aku yakin dan percaya semua ada masa dan waktunya.”
“Kenapa senyum-senyum sendiri,” tanya Nania. “Tidak, hanya mengingat hal yang tidak penting! Aku rasa ini sudah waktunya kita membicarakan perasaan dan keinginan kita pada orangtua kita,” kata Riana akhirnya.
“Iya aku setuju, sudah waktunya keluarga kita mendukung keinginan kita,” tambah Lulu.
“Benar juga ya, selama ini kita diam saja. Mungkin orangtua kita tidak menyadari bahwa tindakan mereka telah menyakiti anaknya,” sahut Puspita membuat ketiga sahabat barunya tertawa. “Ayo, siapa disini yang tidak mau menikah,” canda Riana. Semuanya hanya tersenyum saja. Karena pada dasarnya wanita single pun ingin menyandang status marriage tapi bukan karena keterpaksaan atau pun dorongan sosial dan lingkungan. Mereka pun sepakat untuk mengungkapkan perasaan mereka kepada orangtua masing-masing mengenai status single yang mereka sandang. Sebenarnya status single tidak perlu dibesar-besarkan. Karena itu hanya lah masalah waktu. Tanpa mereka sadari The Singles Club telah mengubah cara pandang mereka dalam menghadapi kehidupan ini. Karena pada dasarnya mereka ingin menikah hanya saja masih belum memiliki keberanian dan kesempatan. Bukan kah kehidupan itu indah, hanya saja ada sebagian orang yang memiliki pikiran berbeda soal pernikahan. Dan pada dasarnya, semua manusia di muka bumi ini ditakdirkan untuk menikah, hanya penerapan waktunya yang berbeda ada yang terlalu cepat, mengejar target usia, ada yang lambat menemukan jodoh, seperti anggota Single Club yang terbentuk tidak disengaja. Dalam perjalanan pulang Riana merancang kata-kata untuk diungkapkan ke orangtuanya. “Mama tolong jangan pandang rendah diriku, aku juga memiliki mimpi untuk menemukan belahan jiwaku. Mungkin bukan saat ini, bukan besok atau pun minggu depan. Waktu masih panjang, tapi jangan lah membuat hatiku terluka dengan kata-kata yang menyakitkan jiwa dan hatiku. Aku tahu pria idamanku terlalu tinggi, tapi percayalah jikaa sudah waktunya pasti ia datang. Jangan pandang rendah diriku lagi. Biarkan orang berkata apa, asalkan jangan dari mama. Aku ingin mama mendukungku dan bukannya malah membuatku semakin tertekan. Menjadi sendiri bukan berarti harus dipandang rendah, melainkan masih diberi kesempatan menikmati hidup sebelum menikah, mengurus suami dan anak. Karena semua itu akan indah pada waktunya, pada saat aku sudah siap untuk berumah tangga, tetapi saat ini aku belum siap lahir dan batin.” ©
Pada
8:53 AM
Jadilah orang pertama yang berkomentar!
You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Creative and Health